Kamis, 18 September 2014

Ujian itu Bernama Tb (part 1)

2014 adalah awal tahun yang membahagiakan untuk keluarga kami. Tidak lain karena hadirnya anggota baru di keluarga kami, yaitu Nadya. Jika awal tahun 2013 kami memulai hidup baru sebagai suami istri, tahun 2014 ini kami memulai hidup baru sebagai orang tua. Kehadiran Nadya di tengah kami membuat hidup kami berubah. Biasanya pulang kantor, cuma berduaan, sekrang pulang kantor sudah ada yang menyambut di rumah. Capek yang dirasa sepanjang perjalanan pulang hilang seketika begitu meihat Nadya. Rutinitas kami yang biasanya semalaman bisa bobok nyenyak, sekarang sesekali harus bangun tengah malam untuk mengganti popok ataupun dia cuma mau nenen. Alhamdulillah dari bayi pola tidur Nadya sudah bagus. Setiap Isya, dia sudah mulai tidur dan bisa tidur semalaman, hanya bangun beberapa kali karena pipis, pup atau nenen. Ga kebayang kalo Nadya tipe bayi wayangan, yang melek tiap malem. Jadinya kami sangat-sangat terbantu dengan pola tidurnya ini.

Kebahagiaan atas hadirnya Nadya mulai terganggu ketika papanya Nadya jatuh sakit. Sakit yang awalnya kami kira masuk angin biasa, tapi sejak Desember 2013, sakit itu pergi dan datang. Mulanya cuma capek-capek aja, dan seperti maag. Sudah konsultasi ke dokter di klinik kantor, kata dokternya ga sakit apa-apa, cuma pikiran dan kecapean aja. Yasudahlah..Kondisi waktu itu memang menyita perhatian dan fisik suami saya. Waktu itu saya masih cuti bersalin di Magelang, yang efeknya suami saya harus bolak balik Jakarta-Magelang, belum tugas dinasnya di akhir tahun lalu itu lumayan padat. Pikir kami mungkin memang kecapean saja. Selanjutnya mulailah suami saya batuk-batuk. Suami saya yang pada dasarnya anti pergi ke dokter selalu berkilah, batuknya dimnumin obat ini, nanti juga sembuh. Ya benar, selesai minum obat kadang batuknya berhenti, tapi ga berapa lama, batuk lagi. Begituu terus. Akhirnya menyerah, suami saya pergi ke dokter klinik dekat rumah. Diaksih antibiotik, yang setelah habis minum obat itu belum sembuh juga. Malah semakin parah, rasanya setiap batuk kepalanya pusing. saat itu, dia belum juga mau pergi ke dokter lagi, asumsinya kalo dikasih antibiotik lagi ya sama saja. Sampai pada suatu malam, suami saya sudah tidak tahan dengan batuknya. Akhirnya kami pergi ke UGD salah rumah sakit besar dekat rumah (kenapa ke UGD,soalnya seingat saya kami perginya itu Sabtu malam, yang mana poliklinik juga ga buka). Sampai disana cuam ketemu co ass, ditanya-tanya aja sebangsa yang dirasain apa, batuknya sejak kapan, terus perika tensi, suhu badan..Dan hasilnya lagi-lagi cuma dikasih antibiotik dan vitamin, serta saran kalo batuknya ga sembuh datang aja ke dokter spesialis syaraf atau paru, yang mana baru buka Senin. Rasanya ya waktu itu, sebeel banget. Sarannya itu loh, datang ke dokter syaraf atau paru. Lah, kami datang kesana kan ga tau sakitnya apa. Kalo langsung ke spesialis berarti kami sudah tau dong sakit apa. Ga perlu juga ke dokter umum. Masalahnya ekspektasi kami, kalo kesana itu dirujuk buat tes apaa gitu, tes darah kek atau tes apalah, minimal buat mendiagnosis sebenernya sakit apa. Ini kan rumah sakit besar yaa..Tapi yasudahlah, pasien kalah. Kami pulang saja, nebus obat, dan terpaksa minum obat yang sudah diresepkan itu. Sambil berjanji ga akan balik lagi ke rumah sakit itu ~kecewa.

Setelah beberapa saat minum obat, ga da kemajuan sama sekali. Terus saya baru ingat, mama saya juga suka batuk-batuk dan sekalinya batuk lamaaa. Saya telp lah mama saya itu, dari cerita beliau, belakangan ini beliau suka langsung berobat ke Balai Paru di  Magelang. Waktu batuk kemarin, beliau dirujuk untuk diuap, setelah diuap dahaknya keluar semua, batuknya jadi lebih cepat sembuh. Akhirnya saya bilang ke suami, untuk periksa ke spesialis paru aja, siapa tau dirujuk untuk diuap juga. Suami saya setuju. Kami sepakat untuk ke RSPAD (pertimbagannya RS ini dekta kantor dan jelas kami ga mau balik ke RS pertama). Kami langsung mendaftar untuk konsultasi ke spesialis Paru, yang mana sampai sana ternyata harus menyertakan rontgent dulu. Jadilah hari itu suami saya di rontgent, hasilnya bisa langsung diambil hari itu juga untuk dibawa konsul dengan dokter.  Hasilnya, ada kabut di paru-paru suami saya, dokter menduga sakitnya antara Pneumonia atau Tubercullosis (Tb). Kalo Pneumonia pengobatannya cuma 2 minggu, tapi klo positif Tb harus diisolasi dan berobat minimal 6 bulan. Syoklah kami mendengar diagnosa sementara dokter. Itu kan penyakit kronis...Bagaimana bisa...??

Baiklah sebelum dokter mendiagnosis bahwa itu Tb, suami saya masih harus menjalani tes lagi. Kali ini tes dahak, yang mana merupakan prosedur umum untuk mendiagnosis apakah seseorang menderita tb atau tidak. Tes ini dilakukan dengan mengambil dahal di tiga waktu, yaitu dahak sewaktu (dahak saat pengambilan pertama), dahak pertama di pagi hari dan dahak sewaktu (dahak saat pengambilan ketiga). Berarti butuh 2 hari untuk tes dahaknya saja, dan dua hari kemudian baru hasil tesnya keluar. dokter tersebut meminta kami untuk kembali pekan depan. 

Menunggu pekan depan sambil melewati tes ini itu rasanya campur-campur. Ada ketakutan mendalam jika terjadi apa-apa dengan suami saya. Bayangan hal yang buruk-buruk itu sering melintas di benak. Suami saya pun merasakan hal yang sama, tapi dia jauh lebih tabah. Dia tau jika dia kalut, saya pun akan jauh semakin kalut. Saat itu, dia cuma memeluk saya dan berkata, " Sabar ya dek, mas aja sudah ikhlas kok dengan penyakit mas. Semoga sakit ini bisa menjadi penggugur dosa kita. doakan mas cepet sembuh yaa..". Istri mana yang ga menangis dibilang kaya gitu. Dan pada akhirnya saya hanya bisa berdoa dan men-supportnya. 

Hasil tes dahak keluar. Hasilnya adalah positif. Ya Alloh suami saya kena Tb. Walaupun sudah bersiap selama seminggu menunggu hasil ini, tapi tetap saja kami syok. Kami konsul lagi ke dokter, bertanya macam-macam, terutama bagaimana bisa suami saya itu kena Tb. dokternya bilang ya bisa saja, bakteri Tb sudah masuk lama di dalam tubuh, dia baru aktif ketika tubuh sedang tidak fit, yang mana saat itu antibodi tubuh sedang tidak bagus. Baiklaah, mendengar penjelasan dokter itu kami mulai bisa menerima, mengingat suami saya sering kecapean apalagi setelah saya melahirkan. Bisa jadi saat itu bakterinya menjadi aktif. Yaa baiklaah..Selanjutnya suami saya akan mulai menjalani pengobatan selama 6 bulan ke depan. Rontgent lagi setelah 2 bulan untuk follow up bakteri yang berkembang di paru-paru.

Sebelum meninggalkan ruangan dokter, dokter tersebut berkata merujuk ke klinik VCT untuk mengetahui apakah suami saya megidap HIV-AIDS atau tidak.. what!! Apa pula ini. dapat penyakit Tb saja sudah cukup bikin syok, apalagi terduga kena HIV. Dokternya cuma bilang cek aja karena sesuai prosedur untuk pasien pengidap Tb yang masih muda dan aktif, perlu diobservasi apakah terkena HIV atau enggak. Lagipula dokternya juga masih heran, badan suami saya yang segede itu kok bisa-bisanya kena Tb.

Yasudahlah kami ke klinik VCT hari itu juga. Suami saya diwawancarai dokternya. Ga tau ditanya apa aja soalnya saya disuruh keluar ga boleh nemenin. Ujungnya sih dirujuk untuk tes rapid HIV. Pengennya hari itu juga kami kelar semuanya, bisa tes HIV dan keluar secepatnya. Rasanya menunggu hasil tes rapid HIV itu jauuh lebih mendebarkan daripada nunggu hasil tes dahak. Kami cuma bisa beristighfar. Hasil tes keluar, Alhamdulillah suami saya negatif  HIV. Alhamdulillaah.. Berarti sekarang tinggal fokus menjalani pengobatan selama 6 bulan. 

Sejak positif menderita Tb, suami saya semakin rajin memakai masker, bahkan waktu tidur sekalipun. Ini juga sementara waktu, kami tidur terpisah. Gelas dan tempat makan juga sementara dipisah. Demi tidak menulari penghuni rumah lainnya. Namun, menjelang bulan kedua, suami saya sudah ga batuk-batuk lagi. Pakai maskernya kalo lagi pergi aja. Secara medis sih, setelah pengobatan 2-3 bulan, penderita tb sudah tidak dapat menularkan bakteri lagi. Tapi ya jaga-jaga aja.

Alhamdulillah suami saya ini orang yang rajin minum obat. Dia pokoknya nurut kalo disuruh minum obat, asal bisa sembuh. Ga kebayang kalo saya yang di posisinya. Dua bulan pertma harus minum obat 12 biji setiap hari. Saya makan sebiji obat saja rasanyaa susaah banget. dia dengan entengnya minun tuh 12 biji. Selanjutnya di bulan ketiga, obatnya mulai berkurang. Hingga menjelang 6 bulan obatnya tinggal 2 macam saja. Selama 6 bulan ini, mullai ada kemajuan dari suami saya. BAtuk-batuknya sudah jauuh berkurang. Hasil rontgent yang kedua kalinya, sudah menunjukkan paru-paru mulai bersih, tapi obatnya belum boleh putus. Lanjut sampai 6 bulan. Sebagai informasi, pengobatan Tb ini memakan waktu minimal 6 bulan. Obat harus diminum setiap hari, ga boleh terlewat satu hari pun. Kalau terlewat satu hari saja, dikhawatirkan bakterinya akan semakain kuat sehingga masa pengobatan Tb dapat semakin panjang. Dan jika pasiennya membandel, Tb ini dapat menyebabkan kematian. Seperti yang telah saya bilang, suami sya ini rajin dan telaten. Hasilnya, alhamdulillah per 17 September kemarin, kontrol terakhir dengan dokter, suami saya dinyatakan bebas Tb. Hmm..sebenernya kesimpulannya belum meyakinkan sih, karena kemarin suami saya ga bisa mengeluarkan dahak untuk memastikan bakterinya sudah tidak ada. Tapi melihat hasil rontgent dan gejala klinis yang terlihat dokter sudah menyimpulkan suami saya bebas Tb. Hanya saya nanti 3 bulan kemudian suami saya diminta kontrol kembali. Alhamdulillah. Semoga suami saya benar-benar sudah bebas Tb. Semoga ga lagi ada penyakit yang aneh-aneh. aamiin..

Akibat suami saya positif kena Tb ini ternyata berdampak ke Nadya. Bagian ini saya ceritakan pada tulisan selanjutnya ya.. Insya Alloh :)

4 komentar:

  1. anicaaa,, *speechless* yang sabar ya :') semoga sakitnya iqbal bisa jd penggugur dosa,, semoga tulisanmu selanjutnya ga bikin mbrebes mili lagi.. semangat annicaa,, in sya Allah sembuh sembuh sembuh.. aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin..allohumma aamiin..

      iya mb, sementara sih sudah dianggap negatif, tapi insya Alloh Desember kontrol lagi buat memastikan. ini obatnya tinggal ngabisin aja, kalo udah habis udah ga minum obat lagi.
      semoga sih hasil Desember nanti memang sudah ga ada lagi bakteri tb nya.. :)

      Hapus
  2. Selamat malam mbak. Ini saya penderita tb juga. Sudah 2 bulan pengobatan. Mengenai makana bagaimana mbak? Apakah ada pantangan?

    BalasHapus
  3. Saya sekarang juga pengidap tb dan baru minum obat rutin sebulan... tpi kdg masih batuk(apakah suami mbk dulu juga ya) dan sya jg punya anak usia 1 tahun menyusui jga... skg anak batuk pilek sedihh rasaya mbk takut...mw priksakan anak pun sampek gg tega... pdhal sudah pakek masker trus.. tpi kpikiran soalnya tiap hari sama aq... semoga aq jg sembuh n ankq sehat... aminnn

    BalasHapus

tinggalkan jejakmu disini ^^