Senin, 25 Agustus 2014

Kami Dibilang Nekat Nikah

"Ningrun karo Iqbal ki nekat kok...."
Jeeeng..pernyataan itu kemarin terlontar dari bude saya, ketika kami mengunjungi beliau. Ceritanya, waktu itu kami lagi ngobrolin pacarnya sepupu saya, yang menolak diajak nikah sama sepupu saya, karena masih pengen kerja dulu, ngebiayain kuliah adeknya dulu, beli rumah dulu. Sudah dilobi sih sama sepupu saya, kalo masalah rumah belinya berdua aja. Eh tapi sang pacar tetep ga mau. Yah, mungkin maksudnya menolak sepupu saya dengan halus. Mungkin juga sang pacar ini ngeliat sepupunya baru aja nikah. Calon suaminya ini sarjana sih, tapi pengangguran, tapi sudah dijanjikan dapat 20 petak kontrakan dari orang tuanya kalo nikah ( yaaa, klo 1 pintu 1 juta/bulan, asumsinya 20 pintu itu keisi semua, sebulan bisa dapat 20 juta. tanpa kerja, uang datang sendiri !!).Bisa jadi, si pacar sepupu saya itu pengennya punya suami kaya suaminya sepupunya itu. Wallahua'lam..

Intinya sih, akhirnya kami, saya dan mas, jadi kena kesimpulan seperti di atas itu. Nekat nikah..Hmm..iya sih, waktu nikah kami itu ga punya apa-apa, ga punya rumah, ga punya mobil, yang bagi sebagian orang paling ga dua hal itu harus dimiliki dulu sebelum nikah.

Sampai rumah, saya ngobrolin ini sama Mas. Kami sih sepakat, walaupun saat itu-sampai sekarang sih- ga punya apa-apa, kami itu ga nekat nikah. Dari sudut Mas, dia nikah karena memang sudah ingin menikah, sudah mampu menghidupi keluarga, dan yang pasti sudah dapat izin untuk  menikah. Dari sudut pandang saya, saya juga sudah ingin menikah, sudah cukup umur, dan sudah disuruh menikah. Waktu itu, untuk menetapkan kriteria suami, saya juga ga mengharuskan suami saya itu punya rumah atau mobil dulu. Bahkan saya mikirnya, masalah rumah atau mobil itu kan nanti lebih enak bisa dipikir bersama. Jadi memulai pernikahan dari titik nol 9bersyukurlah yang mulai menikahnya tidak dari titik nol, tapi titik 10 atau 20...). Mengusahakannya bersama..  Terus nanti pas sudah tua, pasti bakal jadi kenangan indah, bagaimana kami survive hidup (membayangkan orang tua saya dan Mas jaman masih susah sampai hidup sekarang..rasanyaa buat mereka pasti nostalgic banget).


Yaa, sekali lagi mungkin ini hanya perbedaan persepsi tentang standar mapan. Saya ga menyalahkan juga sih, kalo ada orang yang standar mapannya itu punya rumah atau mobil. Sama sekali ga. Tapi kalo udah pacaran terus menunda nikah hanya karena belum punya rumah dan mobil. Rasanya kok gimanaa gitu.. Kelamaan pacaran, iya kalo jadi, kalo ternyata ga jadi gimana. Belum lagi harus menanggung dosa pacaran. zzz.. (Kalo sepupu saya itu sih, akhirnya jadinya putus karena ga mau diajak nikah..Alhamdulillah..)

Jadi yaa, walaupun dalam persepsi orang lain kami ini dibilang nekat, 1 1/2 tahun menikah, kami merasa bahagia dan baik-baik saja. Walaupun kami belum punya rumah, belum punya mobil, hidup masih segini-segini aja, tapi rasanya kami baik-baik saja. Kami ga pernah merasa kekurangan. Dengan segala keterbatasan ekonomi kami saat ini, kami masih sungguh sangat bersyukur, masih bisa makan hari ini, ga pusing makan apa besok (pusing milih menu sih, yaa alhamdulillah masih bisa memilih), masih bisa pulang kampung nengok orang tua, masih bisa berbagi, masih bisa jajan2 dan jalan2, kalo sakit masih bisa langsung berobat..Walaupun ga punya rumah, tapi Alhamdulillah dapat rumah kontrakan yang lumayan oke dengan harga miring dan empunya rumahnya baiik banget. Walaupun ga punya mobil, Alhamdulillah masih ada motor., masih bisa ngerasain naik angkutan umum. Rasanya sih hidup kami baik-baik saja, malah masih harus lebih banyak lagi yang bisa disyukuri :)

Dan walaupun saat ini kami "nekat" dan ga punya apa-apa, tapi kami berencana kok untuk punya apa-apa. Bagaimanapun juga, standar kayanya seorang muslim itu ada 4, istri shalihah, rumah yang lapang, kendaraan yang kuat, tetangga yang baik (Semoga saat ini suamiku sudah punya yang no 1 dan 4..Aamiin). Jadi insya Alloh kami akan berusaha mencapai standar tersebut. Semoga Alloh meridhoi keinginan kami..

Jadi ya, bagi para single yang memang sudah ingin menikah dan sudah mampu menikah, berdoalah semoga kalian segera menemukan jodoh dan menikahlah. Jangan jadikan harta sebagai penghalang untuk menikah (apalagi kalo udah pacaran). Untuk para jejaka, jika kalian sudah memiliki kemampuan ekonomi dan sudah ada wanita yang membuat kalian tertarik, segeralah lamar. Kalo ditolak, atau si wanita minta nikahnya  nanti-nanti nunggu punya rumah atau mobil, cari wanita lain saja. Untuk para gadis, jika ada pemuda datang melamar kalian, dan tidak ada alasan menolaknya, terimalah dia. Ga masalah jika pemuda itu belum punya apa-apa. Insya Alloh nanti dia akan memiliki apa-apa. Tapi kalo ternyata pemuda itu sudah punya apa-apa, ya bersyukurlah :)

Yang pasti percayalah bahwa menikah itu akan membukakan rizki. So, dont be afraid. Janji Alloh itu pasti ;)


Kamis, 21 Agustus 2014

Mewarnaimu

Semalam, Nadya sudah tidur pulas setelah seharian main dan ga tidur siang. Seperti biasa, kalau nadya sudah tidur, papanya suka datang ngusap-ngusap dia. Biasanya sih kalau belum pulas, Nadya akan terbangun lagi. Tapi karena semalam mungkin nadya sudah terlalu capek bermain, diusap-usap ga bangun juga. sambil ngusapngusap Nadya, papanya mendoakan Nadya, kurang lebihnya begini,

Nadya, cepat besar ya..Nanti jadi wanita yang anggun, shalihah. Terus  nikah sama pria shalih. Semoga hidupmu penuh berkah...

Masih ada lanjutannya sih.tapi udah ga didenger lagi..Habis denger kata Nadya udah mau nikah itu rasanyaaa ya ampun masih jauh banget. Umur setahun aja belum.. Papaa jangan ngomong-ngomong masalah nikah dulu kali..Nadya nya masih kecil ini..

Eh tapi kok ya jadi kepikiran, nanti Nadya semakin gede..Sebentar lagi udah bukan bayi, terus  toddler terus remaja, terus gadis, terus nikah..errr...Baiklah, time runs so fast..9 bulan hidupnya saja, rasanya cepat. Dari kemarin Nadya yang baru lahir, bisanya paru nangis-pipis-pup, terus tetiba dia bisa tengkurap, terus dia bisa merangkak, terus sekarang udah berdiri, terus mulai ngoceh, terus sebentar lagi jalan. Iyaa, rasanya begiitu cepat.

Kadang memang pengen liat Nadya cepat besar, hihi penasaran liat Nadya besar kaya apa. Tapi kadang pengen juga Nadya jadi bayi terus, biar bisa digendong-gendong, diciumin.. :D

Apapun itu, Nadya adalah amanah untuk kami. Dia yang lahir dalam keadaan fitrah, kemudian kami, orang tuanyalah yang memberinya warna. Nadya, setidaknya kamu harus bersyukur satu hal, bahwa kamu dilahirkan dari orang tua beragama Islam, Insya Alloh akan dididik sesuai ajaran Islam. Doakan ya nak, semoga kami mampu menjadi orang tua shalih yang mampu menshalihkan keturunan kami. Semoga Nadya selalu disayang Alloh dan mampu menjaga harga diri- sesuai doa kami nak, memberimu nama Izzaturrahmah... 

Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR Bukhari 1296)

Jadi wanita yang anggun ya Nak, terus belajar bobok yang anggun..^^




Jumat, 15 Agustus 2014

Belajar menyatakan keinginan

..Menjadi istri dan ibu itu ga pernah ada sekolahnya...Tapi belajarnya harus seumur hidup..

Dan disinilah saya yang sedang belajar untuk menjadi istri dan ibu yang lebih baik. Peran yang saya jalani ini masih seumur jagung jadi sangat wajarlah jika ilmu yang saya miliki pun masih seujung kuku. Maka tak heran jika ada sedikiit saja masalah atau sentilan, respon saya masih cukup heboh, masih suka emosi.

Disinilah saya, yang dari kemarin cuma bisa diam di depannya, tapi selalu berkeluh kesah di depan suami. Suami saya sampai bosen kalo saya lagi mengeluh hal itu lagi-hal itu lagi. Mau bagaimana lagi, saya yang ga enakan mau ngomong langsung, akhirnya ada apa-apa cuma bisa kesal.

Awal kedatangannya semua baik-baik saja. Seluruh pekerjaan rumah beres. Berhubung beliau suka masak, jadi saya serahkan juga urusan dapur kepadanya. Dia juga telaten mengasuh Nadya. dan bagi saya yang paling penting adalah Nadya bisa dijaga dengan baik. Untuk urusan rumah, kalopun ga beres-beres amat ga apalah. Namanya juga kerja sendirian. Jadi pada awal itu, kami, saya dan suami, sangat puas dengan hasil kerjanya. karenanya kami percayakan urusan rumah dan Nadya kepadanya selama kami kerja.

Mungkin disini awal masalahnya dimulai. Saya tidak tegas dan jelas memberikan pengarahan mengenai apa-apa yang harus dikerjaan. Pertama karena bagiamanapun juga dia itu tante saya, jadi saya pikir saya ga mau terlalu banyak menuntut minta ini itu. saya tetep harus hormat dong ke beliau. Kedua, dia itu jauh lebih tua dari saya, pengalamannya sudah banyak. Jadi untuk pekerjaan rumah dan mengasuh anak, dia sudah merasa jauh lebih senior daripada saya. Ketiga, jelas saya  tipe orang yang ga bisa nyuruh-nyuruh. Jadilah sejak beliau dateng pekerjaan itu tahu sama tahu saja. Berhubung rumah juga sudah beres, jadi sayanya ga terlalu turun tangan. Ketika di rumah saya lebih suka main sama Nadya daripada harus memikirkan urusan rumah yang lain. Ini yang kemudian saya sadari sebagai kesalahan paling besar.

Beberapa bulan berlalu..Semakin kesini  kami menyadari bahwa pekerjaan tante saya itu semakin menurun. Terutama untuk pekerjaan rumah sih. tapi pikir kami wajar lah, Nadya sudah semakin besar. sudah bisa kemana-mana jadi pastilah capek kalo siang. jadi kami ambil pusing juga. Toh kami masih bisa bantu-bantu sedikit untuk urusan rumah. Tapi hal ini berbanding terbalik dengan pekerjaan mengasuh Nadya. Kalo dulu jaman Nadya masih bayi banget, adanya disuruh tidur melulu. Kalo sekarang suka diajak nyanyi-nyanyi, main, masih diajarin lah pokoknya. Dan saya liat tante saya itu sayang banget sama Nadya. Beberapa kali Nadya dibelikan mainan atau kaos kaki. Di satu sisi, seneng dong ya, berarti Nadya kalo ditinggal-tinggal aman. Di sisi lain jelas, saya merasa sangat cemburu (wajar kan ya).

Dan di titik inilah kegalauan makin menjadi.. Kepercayaan yang kami berikan membuatnya jadi agak "berani". Entahlah, mungkin saja ini hanya karena ego saya. Belakangan beliau menjadi semakin dominan. Sayanya jadi sering kalah suara. Untuk urusan rumah, saya ngalah deh.Terserahlah beliau pengennya apa. Tapi kalo untuk menyangkut Nadya, saya ga mau. Nadya tetap harus ikut aturan-aturan dari saya. Itupun kalo saya bilangin, kadang mental. Mungkin di mata beliau, saya ini banyak banget larangan. Jangan ini, jangan itu..

Puncaknya sih kalau weekend, dan waktu-waktu dimana saya bisa main sama Nadya (pagi dan malam masih bisa curi-curi waktu sedikit main sama Nadya) Nadya sering "diambil" , entah diajak main atau dibawa jalan. Apalagi kalo tetiba Nadya rewel (namanya anak kecil ya, biasa aja kan), ga tedeng aling-aling langsung ambil selendang dibawa keluar. Perasaan saya saat itu, iih rasanya benar-benar tidak dihargai. Merasa jadi ibu ga guna banget. Nenangin anaknya nangis aja ga bisa. eh tapi bukannya ga bisa, lha gimana, belum diapa-apain udah langsung dibawa kabur aja. Terus kenapa saya diem aja waktu dibawa pergi. Sebenernya bukannya diam, tapi sudah saya bilang, suara saya kalah keras sama beliau. Akhirnya mental... :'-(

Di titik-titik tertentu kadang saya merasa sangat gagal berperan sebagai istri dan ibu. Masalah seperti ini saja jadi "masalah" banget. Padahal mungkin jika dilihat dari sudut padang yang berbeda, ga sebesar yang saya rasakan. Dan bisa jadi apa yang saya tulis di atas itu, terlalu berlebihan (jelas ini, kan saya ceritanya pakai sudut pandang subjektif). Suami saya bilang hanya cukup menjalin komunikasi yang baik. Menyatakan keinginan saya kepada beliau, saya maunya begini begitu. Nah, masalahnya sulit bagi saya untuk menyatakan keinginan seperti ini. Disinilah saya harus belajar. Belajar menyatakan keinginan...

*noted