Minggu, 28 September 2014

Uang Panaik

Saya menghabiskan lebaran tahun ini dengan mudik ke Pomalaa. Mudik kali ini, saya berkesempatan untuk ikut dalam salah satu adat pernikahan Bugis, yaitu mengantarkan uang panaik. Walaupun saya menikah dengan orang Bugis, pernikahan saya kemarin ga ikut adat Bugis, jadi untuk pernikahan adat Bugis sendiri saya belum terlalu paham.Yang akan menikah ini adalah sepupunya suami saya. Berhubung kami lagi disana, kami diminta juga untuk ikut serta keluarga lainnya dalam acara mengantarkan uang panaik.

Uang panaik adalah sejumlah uang yang diberikan kepada keluarga calon mempelai wanita yang akan digunakan untuk melngsungkan acara pernikahan. Uang ini adalah uang diluar mahar. Besarnya uang panaik ini tergantung pada kesepakatan kedua keluarga. Biasanya sih, besarnya tergantung pada strata sosial keluarga calon mempelai wanita (seperti bangsawan atau bukan), tingkat pendidikan wanita, pekerjaan wanita, gelar hajjah, dan beberapa aspek lainnya. Semakin dinilai tinggi kedudukan seorang wanita, maka semakin tinggi uang panaiknya. Kata suami saya sih, sebenernya filosofi uang panaik ini adalah berapa harga yang mau dibayar calon mempelai pria agar keluarga calon mempelai wanita mau melepas anak gadisnya. Jadi, urusan uang panaik ini jadi semacam gengsi tersendiri bagi keluarga calon mempelai wanita.

Acara penyerahan uang panaik yang kemarin saya datangi, cukup singkat. Begitu sampai di rumah keluarga calon mempelai wanita, juru bicara calon mempelai pria langsung mengutarkan maksud kedatangannya, yaitu untuk melamar anak gadis  dan  menyerahkan uang panaik (besarnya harus disebutkan dengan jelas lo, makanya jadi gengsi kalo uang panaiknya sedikit). Selain uang panaik, disebutkan pula bahwa keluarga calon mempelai pria juga membawa sekian karung beras, tepung, gula, dan sebagainya. Iya. untuk bahan mentah seperti itu juga menajdi bagian dari seserahan saat acara penyerahan uang panik itu. Selesai menyampaikan seserahan itu dan menentukan tanggal pernikahan, acara selanjutnya makan-makan terus pulang. Simpel banget ya..

Eh tapi ternyata, jaman dulu acara penyerahan uang panaik tidak sesimpel itu. Jaman sekarang sih demi menghemat waktu, besaran uang panaik sudah dirembug sebelumnya. Jadi ketika acara berlangsung, semua sudah sepakat, dan terkesan acara tersebut formalitas saja. Jaman dulu itu, saat penyerahan uang panaik itu sekaligus acara rembug dua keluarga. Yang bicara dalam forum tersebut hanya juru bicara kedua keluarga saja. Misal nih, juru bicara keluarga pria mengatakan ke juru bicara keluarga wanita bahwa mereka akan memberika udang panaik sekian. Lalu juru bicara keluarga wanita akan masuk ke dalam, menyampaikan ke kelurga wanita bahwa mereka kan memberikan uang paniak sekian. jika keluarga wanita setuju, berarti sudah terjadi kesepakatan. Namun jika tidak setuju, juru bicara keluarga wanit akan melaksanakan negosiasi lagi dengan juru bicara keluarga pria. Begitu seterusnya sehingga dicapai kesepakatan mengenai jumlah uang panaik. Proses mencapai kesepakatan ini sendiri tentunya memakan waktu.

Yang namanya kedua pihak berikhtiar mencapai kesepakatan, bisa jadi juga malah tidak tercapai kesepakatan sama sekali. Gara-gara tidak terjadi kesepakatan masalah uang panaik, pernikahan bisa saja terancam gagal.Bisa jadi, keluarga calon mempelai pria ga sanggup membayar besaran uang panaik yang diminta keluarga calon mempelai wanita. soalnya kalo menurut saya jumlah uang panaik ini memang lumayan wow. Salah seorang teman mama saya, menikahkan anaknya dengan seorang gadis Bugis. Yang saya tau, pendidikan gadis itu SMA (klo ga salah ya, apa D3 gitu, pokoknya belum S1), uang panaik yang diminta adalah 50 juta. Wow ya..

Apalagi praktik di kehidupan sekrang, uang panaik yang diminta ga melulu cuma uang, tapi bisa ditambah perhiasan, rumah, tanah, mobil dan aset lainnya. *nelen ludah. Lagi-lagi demi gengsi semata. Dan atas nama gengsi itu tadi, ada juga kasus-kasus dimana waktu acara penyerahan uang panaik, keluarga mempelai pria bilang akan menyerahkan uang sekian, tanah, mobil bla bla bla.. Tapi ternyata hanya diucapkan saat acara penyerahan uang panaik saja, pada kenyataanya barang-barang tersebut tidak diserahkan. Hanya agar keluarga mempelai wanita mau melepas anak gadisnya. Atau juga, kedua keluarga memang berkonspirasi supaya waktu pengucapan uang panaik dibuat tinggi, tapi di belakang cincailaaah. ~atas nama gengsi

Melihat realitas seperti ini, nampaknya banyak juga para bujang yang ga sanggup juga menikahi gadis Bugis karena masalah uang panaik. Minimal mikir panjang dulu buat menikah dengan gadis Bugis, kalo perlu jual aset demi membayar uang panaik. 

Menurut saya sih, namanya adat memang harus dihormati. Tapi jika karena adat, malah jadi mempersulit terjadinya pernikahan kok ya rasanya gimanaa gitu. Kasian orang-orang yang sudah ingin menikah tapi terhalang karena masalah uang panaik ini. Mending kalo masih bisa menahan diri, kalo malah berbuat yang enggak-enggak, kan gimanaa gitu.. Perlu dicatat juga, ga semua keluarga yang punya anak gadis memasang tarif tinggi untuk gadisnya kok. Jadi ga usah khawatir kalo mau nikah sama gadis Bugis ;)


daripada nyomot foto orang lain, pake foto sendiri aja ^^v



Kamis, 25 September 2014

Ujian itu Bernama Tb (part 3)

Kami melanjutkan pengobatan Nadya di RSPAD. Alasannya ya karena suami saya juga sudah menjalani pengobatan disitu. Di RSPAD ambil dokternya juga acak, seadanya yang praktik pas kami datang hari itu. Kami bertemu dengan dokter pria yang belum terlalu tua. Kesan pertama, dokter ini tampak menyenangkan dan mau ditanya-ditanya. Tapi ga enaknya, sambil konsul dokter ini sibuk terima telp.. TT

Pertama kami menyampaikan maksud kami untuk melanjutkan pengobatan Nadya tentunya dengan membawa hasil scoring diagnosis Tb anak, dokter itu langsung bilang anak ini positif  Tb karena score nya udah 6. Terus kami juga dirujuk untuk melakukan rontgent hari itu juga. Bengong deh kami. Pertama, kami berusaha optimis kalau Nadya ga kena Tb, berdasarkan interpretasi dokter di Magelang. Bengong yang kedua, kami baru tau kalo bayi bisa di rontgent. Informasi yang kami terima di dokter-dokter sebelumnya, bayi itu ga bisa di rontgent. Setidaknya dari hasil googling, hasil rontgent anak itu tidak terlalu akurat. Bengong yang ketiga, yang bikin kami bete berat adalah perbedaan hasil interpretasi scoring tersebut sangat berdampak pada kelanjutan pengobatan Nadya. Kalo menurut dokter di Magelang yang menginterpretasikan Nadya belum positif Tb, dia hanya meresepkan INH sebagai pencegahan. Nah di dokter ini, karena sudah didiagnosis positif Tb, Nadya akan mendapatkan pengobatan Tb penuh. Yang berobatnya minimal 6 bulan dihitung sejak mulai minum obat Tb. Berarti ya sebulan sebelumnya yang minum INH itu ga dihitung. YA Alloh, Nadya harus berobat lebih lama. Iya sih, harusnya memang kalo pengobatan gitu itu jangan ganti-ganti dokter. Kalo misal tetep di Magelang mungkin beda ceritanya. Ah tapi yasudahlah, ga realistis juga kalo harus melanjutkan pengobatan di Magelang. Ga mungkin kan tiap bulan pulang. Berita baiknya sih, berdasarkan hasil rontgent, paru-paru Nadya masih bersih. Alhamdulillah..

Hari-hari Nadya minum obat baru. Obat Tb kali ini bukan obat syrup, melainkan tablet. Iya, 1 tablet ini sudah berisi seluruh obat Tb. Cara minumnya cukup memberikan sedikit air di tablet tersebut, maka tablet tersebut akan encer dengan sendirinya. Tabletnya cukup besar, kalo diencerkan jadinya lumayan pekat. Rasanya sih manis, tapi karena manis banget jadi agak-agak pahit gitu diujung. Awalnya minumin obat ini ke Nadya itu butuh perjuangan. susah banget, pake sendok ditampel, pake cup feeder ga mau. Akhirnya 1 tablet itu bisa diminum seharian, sedikit-sedikit. Tapi belakangan ini Nadya udah mulai pinter. Obatnya diencerin pake 1 sendok makan air saja, terus langsung diminumin sambil dibujuk-bujuk biar sehat. Jadi cuma sekali minum aja. Alhamdulillah dia ga berontak banyak. Anak pintar.. Kalau udah kaya gitu, saya jadi suka terharu sama Nadya. Anak kecil itu sedang berjuan minum obat biar ga sakit. :')

Dua kali yang berarti 2 bulan pengobatan kami mendatangi dokter di RSPAD. Kali kedua itu kami mulai jengah, habisnya dokternya lamaaa banget datengnya. Jadi ya, kalo di RSPAD kami kan harus datang pas jam kerja, yang berarti untuk kontrol itu kami harus ijin kantor. Sudah datang tuh ke RSPAD dari jam 8, eh dokternya baru datang jam 10 an lewat.. Udah gitu, di dalamnya paling cuma 5 menit. karena kalo udah pengobatan gini, ga ada keluhan lain, paling kontrol itu cuma untuk minta resep aja. Kami mikir kok ya syang banget udah ijin setengah hari, nunggunya lama, di dalem cuma 5 menit. kasian juga NAdya nya ya diajak nunggu lama gitu. Jadilah kami yang tidak belajar karena ganti-ganti dokter itu, memutuskan untuk nyoba kontrol di dokter lain yang jadwalnya ga pas hari kerja. Mau gimana lagi, kasian anaknay disuruh nunggu berjam-jam gitu.

Bulan ketiga, kami memutuskan untuk coba kontrol di RSIA Evasari, rumah sakit yang paling dekat dengan rumah. Dengan dokter baru ini, kami juga menyampaikan hasil rontgent dan scoring uji diagnosis Tb. Dia setuju dengan pengobatan yang diberikan oleh dokter di RSPAD. Tapi tidak setuju dengan hasil rontgentnya. Dokter ini bilang ada bercak di paru-paru Nadya. Heee...?? Bisanya dua dokter memberikan interpretasi yang berbeda... Ya memang sih sebenernya kalo hasil rontgent anak itu ga bisa tepat banget untuk mendiagnosis penyakit. Yowislah, mau ada bercak atau enggak, realitanya Nadya tetap harus menjalani pengobatan Tb kan. Tapi tapi tapi yang masih mengganjal adalah kok tiap dokter bisa punya interpretasi beda ya..~Dokter juga manusia kalii..

Enaknya di dokter ini, kami ga merasa diburu-buru. Bahkan ditanya-tanya ada keluhan apa lagi. Terus dijelasin macem-macem.  Yang jelas, kalo disini kami ga perlu ijin dari kantor. :)  Mulai bulan ketiga, obatnya Nadya mulai dikurangi. Jadi resep obatnya ganti. Bentuknya sih masih sama kaya tablet sebelumnya, tapi komposisi obatnya dikurangin, jadi ga sepekat obat sebelumnya. 

Yap, baru 3 bulan Nadya menjalani pengobatan, masih ada 3 bulan selanjutnya. Semoga anakku sayang sehat-sehat terus. Semoga bakteri Tb nya ga berkembang kemana-mana. Aamiin..

Sepanjang tahun ini bergelut dengan Tb, dokter, rumah sakit, kami jadi belajar beberapa hal. selalu ada hikmah kan ya dibalik setiap musibah.
  • Walaupun Indonesia sempat menjadi bebas dari Tb, tapi belakangan ini sepertinya Tb mulai berkembang lagi. Apalagi penderita HIV-AIDS juga bertambah. Hal itu menyebabkan penderita Tb juga meningkat. Ingat ya, bakteri Tb itu aktif ketika imun dalam diri seseorang sedang tidak bagus. Sementara bakteri itu dapat masuk kapan saja, apalagi penularannya melalui udara. Kebayang dong jika seseorang terkena Tb trus dia ga sadar kena Tb. Ketika batuk bakteri keluar, terhirup orang lain. Orang tersebut lagi ga bagus imunnya. Aktif deh tuh bakteri di dalam. seharusnya memang memutus rantai penularan tersebut. sayangnya dalam kasus suami saya ini, dia sendiri juga ga tau ketularannya darimana. Bisa aja kan dari transportasi umum. Jadi, buat jaga-jaga, pake masker itu penting. Jangan lupa sering cuci tangan, apalagi habis dari luar.
  • Pas suami saya positif Tb, demi memutus rantai penularan, ga cuma Nadya yang diobservasi. Tapi kami semua yang tinggal di rumah, saya dan pengasuhnya Nadya, ikut screening pemeriksaan Tb. Untuk orang dewasa screening Tb ga bisa dilakukan dengan tes mantoux, tapi dengan wawancara dan rontgent paru-paru. Hasilnya Alhamdulillah kami ga tertular Tb. Semoga sih sampai besok-besok juga ga kena Tb.
  • Tb pada anak ternyata tidak menular ke orang dewasa atau sesama anak. Untuk kasus Nadya, dia sendiri insya Alloh tidak bisa menularkan bakteri Tb. Yang jelas walaupun dia positif ada bakteri Tb, tapi dia ga sakit. 
  • Dokter itu juga manusia. Ke dokter itu sebenernya untuk berkonsultasi, bukan sekedar cari obat kan ya.. Jadi kalo semisal ga cocok dengan keterangan satu dokter, kita sebagai pasien ga berdosa kok untuk mencari second atau bahkan third opinion. Bukan sok pinter karena sebelumnya udah googling terus ternyata keterangan dokter tersebut beda sama hasil googling kita sih, tapi setidaknya kita butuh keyakinan yang memadai (bahasa akuntan). Kesembuhan dari Alloh, dokter itu hanya perantara. Tapi klo kita yakin dengan prosedur yang diberikan peratara itu, setidaknya kita jadi tersugesti untuk sembuh kan :)
  • Ini kesimpulan agak OOT deh, tapi saya merasa penting menyampaikan. Sejak tahun 2014 ini kan BPJS sudah berlaku. Berlakunya BPJS ini mebuat rumah sakit makin penuh. beberapa kali ke RS yang ada fasilitas BPJS nya, antrenya masya Alloh. Kalo suami saya sih udah pake BPJS. Habisnya kalo tiap bulan ngeluarin duit lumayan juga, sekali konsul bisa 150 rb. Nadya sih belum punya BPJS jadi emang harus bayar. Tapi ya, kalo ga mau rugi emang sebaiknya mengunjungi rumah sakit yang terima BPJS itu mending punya BPJS. Karena mau pake BPJS atau ga pake BPJS antrenya sama, obatnya sama, perlakuannya juga sama. Bedanya bayar sama enggak doang. Makanya kalo Nadya masih di RSPAD lumayan rugi gitu deh, kita bayar, tapi ga dapat konsultasi yang memuaskan, secara diburu-buru. Karena sama-sama bayar, ya coba aja di RS lain. Cari dokter yang ngobrolnya bisa enak dan lama.. Toh bayarnya ga beda jauh :)
Kesehatan itu memang mahal harganya. Makanya selagi belum sakit, baiknya kita berupaya untuk melakukan tindakan pencegahan. Kalo kita ga sayang dengan diri kita,  mulailah berpikir tentang orang lain. Bisa jadi kita sakit dan ga aware akhirnya malah menulari orang lain. Kalo kita tau kita sakit dan menular, berusalaha untuk berobat dan memutus rantai penularan. Kalo bandel ga mau berobat, ya berdoalah semoga sakitnya sendiri aja, jangan sampai ngerugiin orang lain. Kita yang sehat, juga berupaya hidup sehat biar ga cepat tertular penyakit. Semngat hidup sehat..:)

Senin, 22 September 2014

Ujian itu Bernama Tb (part 2)

Dalam tulisan sebelumnya, saya bercerita bahwa suami saya positif Tb. Hal tersebut berdampak pada Nadya.  Beberapa saat setelah suami saya membaik dari batuknya, kami mulai berpikir tentang Nadya. Iya sih, sejak batuk makin parah, dia selalu pakai masker bahkan di saat tidur. Tetap saja ada kekhawatiran Nadya akan tertular. Akhirnya kami pergi ke sebuah klinik di Cempaka Putih. Sebelumnya kami sudah pernah mengunjungi dokter tersebut dan kami merasa cocok. Menurut dokter tersebut, Nadya harus melaksanakan tes Mantoux untuk mengatahui apakah sudah ada bakteri yang masuk ke tubuhnya. Dilakukan lebih cepat lebih baik. Dan jika sudah terkena kontak aktif dengan pasien Tb, anak-anak dipastikan harus ikut menjalani pengobatan Tb. Sederhananya, melalui Tes Mantoux akan diobservasi apakah sudah ada bakteri yang masuk atau belum. Jika belum akan diberi obat pencegahan Tb sampai pasien Tb dinyatakan negatif. Jika hasil tes menyatakan ada bakteri yang masuk, maka anak-anak akan menjalani pengobatan Tb. Bakteri yang masuk ini belum tentu menginfeksi juga. Jadi secara klinis anak tidak akan terlihat sakit. 

Terus kenapa walaupun tidak sakit tetap harus berobat? alasannya adalah dikhawatirkan bakteri yang sudah masuk ke dalam darah itu akan ikut aliran darah dan bersarang di organ tubuh. Bisa jadi di otak, tulang, kelenjar getah bening atau dimanapun. Nah, kalau bersarang di anggota tubuh yang lain, khawatirnya malah makin tidak terdeteksi dan semakin parah. Sebenernya saya juga baru tau kalau ternyata Tb ini tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi ternyata ada juga Tb tulang, Tb kelenjar getah bening, Tb payudara.. Seremnyaa.. sayangnya, di klinik tersebut kami tidak dapat melakukan tes mantoux. Mungkin karena disitu cuma klinik ya. Sayangnya lagi berdasarkan info dari dokter tersebut, reagan untuk melakukan tes mantoux ini di Jakarta sedang kosong. Hmm..okee..

Sebagai bagian dari ikhtiar, kami memutuskan untuk mencoba konsultasi ke dokter anak rumah sakit area Cempaka Putih. Pas hari kami datang, dokter yang kami mau ternyata sudah penuh, akhirnya ngasal pilihnya. Pilih yang paling sedikit antreannya.  Dokternya adalah seorang pria berumur, yang tampaknya sudah senior. Selama konsul, kami ditanya, sudah imunisasi BCG belum anaknya batuk pilek atau enggak. Berhubung Nadya sudah imunisasi BCG dan sampai saat itu dia belum pernah batuk pilek, kami akhirnya dapat resep obat INH syrup yang harus diminum setiap hari (fyi, INH adalah salah satu obat Tb).Obat ini diminum sebagai pencegahan Tb Bulan depan kami diminta datang kembali. Keluar dari dokter itu, kok ya rasanya kami ga puas banget. Pertama, Nadya masih ASI eksklusif. Secara klinis, dia ga ada gejala Tb. Untuk anak, gejala Tb dapat dilihat dari batuk dan pilek yang terus menerus serta berat badan yang tidak naik atau bahkan turun selama 3 bulan terakhir. Dua gejala besar itu ga ditemui di Nadya sama sekali. Terus yang kecewa yang kedua, kok dokter ini ga merujuk untuk dilakukan Tes Mantoux sih. Masalahnya dalam pikiran kami, prosedurnya adalah harus Tes Mantoux dulu baru kemudian diputuskan pengobatan apa selanjutnya. Jadi rasanya datang ke dokter itu kecewaa banget..dan kami galau untuk meminumkan obat ke Nadya.  Karena galau itulah, akhirnya diputuskan bahwa kami ga nebus obat itu dan tidak meminumkannya ke Nadya. Bilang saja kami ini orang tua sok tau, udah bener-bener dikasih obat dari dokter malah ga ditebus. Hmm..sebenernya bukan ga mau sih, hanya saja kami agak kecewanya kok indiaksi anak Tb sebatas ada batuk pilek apa enggak. Lah terus kalo enggak batuk pilek, apakah anak tersebut dipastikan tidak mengidap Tb. Padahal menurut keterangan dokter anak di klinik sebelumnya, Tb itu ga cuma menyerang paru, yang berarti gejala klinisnya bukan cuma batuk pilek. Kami bukan pengen so tau, tapi kami senang bahwa diagnosis itu berdasarkan pengujian yang benar supaya obat yang diberikan juga tepat.males banget kan ya, udah lama minum obat ternyata obat yang dikasih ga sesuai..

Atas dasar kekecewaan itu, kami cari-cari lagi dokter lain untuk second opinion. Kebetulan dalam waktu dekat, kami akan pulang ke Magelang. Jadi kami memutuskan untuk datang ke Balai Paru Magelang. Pertimbangannya disana kan khusus penyakit paru, jadi semoga reagan untuk tes mantoux nya tersedia, dan Nadya mendapat pengobatan yang sesuai.

Dan sesuai dengan ekspektasi kami, begitu kami cerita bahwa suami saya positif Tb, Nadya langsung dirujuk untuk melakukan Tes Mantoux. Tes mantoux ini dilakukan dengan menyuntikkan reagan dibawah permukaan kulit. Kemudian setelah 48-72 jam diukur indurasinya. Indurasi adalah bagian yang mengeras di sekitar suntikan. Interpretasi indurasi dari link ini adalah sebagai berikut;

Ukuran indurasi 5 mm atau > 5 mm dinilai test POSITIF, pada orang dengan kondisi :
  • Orang yang HIV-positive
  • Baru terpapar dan kontak dengan penderita TBC
  • Orang dengan kelainan gambaran foto rontgen paru atau yang penyakit paru TBC lama yang baru sembuh
  • Orang yang mengalami transplantasi organ dan orang yang mendapat pengobatan imunosupresant seperti obat kortiko steroid
Ukuran indurasi 10 mm atau > 10 mm dinyatakan POSITIF, bila :
  • Imigrant atau orang yang baru tiba (kurang dari 5 tahun) dari negara dengan angka kesakitan TBC paru yang tinggi atau negara endemik penyakit TBC paru paru
  • Pecandu narkoba dengan cara suntikan
  • Penghuni dan petugas dari rumah penjara, rumah perawatan orang tua, rumah sakit dan penampungan untuk kaum gelandangan, dan sebagainya.
  • Pekerja di laboratorium mycobakteriologi
  • Penderita penyait khronis seperti  penyakit diabetes, pengobatan kortikosteroid jangka lama, penyakit leukemia, penyakit ginjal stadium akhir, sindrome gangguan penyerapan khronik, berat badan yang rendah, dst)
  • Anak berusia kurang dari 4 tahun, atau anak dan remaja yang terpapar pada orang dewasa dengan resiko tinggi akan menderita penyakit TBC paru paru
Ukuran indurasi 15 mm atau > 15 mm dinyatakan POSITIF, bila
  • Orang yang tidak memiliki salah satu faktor resiko tersebut diatas
  • (Catatan: Mantoux test ini hanya ditujukan pada kelompok dengan resiko tinggi menderita penyakit TBC paru paru)
Sementara untuk mendiagnosis seorang anak terkena Tb atau tidak adalah dengan melakukan scoring pada formulir diagnosis Tb anak. Formulirnya kira-kira seperti ini:

gambar dari sini

Waktu scoring itu, Nadya dapat score 6, yang bersal dari kontak dengan pasien Tb (score 3) dan uji tuberkulin (uji mantoux) positif (score 3). Berdasarkan keterangan dokter di Balai tersebut, score 6 ini adalah score tengah-tengah, bisa menuju ke arah positif Tb atau negatif tb. Untuk itu diobservasi sebulan kemudian untuk melihat apakah gejalanya menuju positif atau negatif. untuk sementara kami diresepkan INH syrup (sama sih obatnya kaya dokter di Cempaka Putih). Kali ini kami menebusnya dan mulai menjalani pengobatan untuk Nadya.  Hmm.. rasanya campur aduk, anak sekecil Nadya sudah harus minum obat setiap hari selama minimal 6 bulan..TT  Tapi bagaimanapun juga, ini kan demi kebaikan Nadya ya.. Insya Alloh kami juga sudah yakin dengan prosedur pengobatannya. Semoga Nadya ga kena Tb, ya Alloh.. aamiin..

Karena Nadya akan menjalani pengobatan tetapi harus kembali ke Jakarta, kami bilang ke dokternya untuk merujuk ke dokter di Jakarta. supaya pengobatannya bisa dilaksanakan di Jakarta. Dokternya akhirnya membuatkan kami rujukan untuk dokter di RSPAD.

Cerita lanjutan pengobatan Nadya di JAkarta bersambung ke tulisan selanjutnya ya.. :)

Minggu, 21 September 2014

Bouqet of Rose

Beberapa waktu lalu, ada seorang teman kantor saya yang masih bujang, sebut saja si A. Hari itu dia keliatan sibuuk banget belajar origami. Katanya sih buat acara Kamis. Terus ga berapa lama, dia pergi ke Cikini, katanya pesen buket bunga mawar. Usut punya usut ternayta dia lagi nyiapain surprise untuk pacarnya dalam rangka anniversary jadian yang pertama.  Wow..

Begitu dia pulang dari Cikini, di ciye-ciyein dong seruangan. Terus dia cerita habis pesen buket mawar, harganya 100 rb. What..!! Komentar saya waktu itu, 'mahal bangeet, ga bisa dimakan pula". Komentar itu diamini temen  bujang yang lain, sebut saja B.

Ga berapa lama kemudian, bujang yang lain lain lagi, si C (banyak kali bujang ya..), cerita ke saya, dulu dia pernah kirimin buket mawar untuk pacarnya, sekrang sih udah mantan, ga tanggung-tanggung harganya 400 rb.. Kali ini bener-bener W O W.. saya komentar lagi, ya ampuun uang segitu ga bisa dimakan pula. Pikiran emak-emak banget yaa.. Saya bilang ke C, "kalo suamiku kasih kaya gituan, paling aku bakalan ngomel. Mahal banget, ga bisa dimakan pula'.. si C nyaut dong, " ya itu laah kalo udah nikah, Coba lo bayangin seancaianya ada cowok yang kasih mawar kaya gitu, atau suami lo deh, yang waktu itu belum jadi suami, kasih mawar begitu, pasti lo seneng"..Hehe..saya ketawa aja..

Sebenernya sambil bayangin sih, seandainya suami saya, yang waktu itu belum jadi suami saya, tiba-tiba kasih sebuket mawar. Eh, kalo ini jelas ga mungkin bangeeet, secara habis kenalan pertama kali sama suami saya yang waktu itu belum jadi suami , kami langsung ngomongin nikah ya. Jadi pasti dia sayang banget ngeluarin duit buat beli buket mawar begituan, mending duitnya ditabung buat nikah kan. Dan kalo sekarang liat tipe suami saya yang model romantisnya bukan tipe pemberi bunga mawar..:D

Teruus, klo sendainya ada cowok yang tetiba ngasih saya sebuket mawar, saya apain ya.. Hmm..kayaknya sih kalo mau nimpuk cowok itu pake bunga mawar, sayang bunga mawarnya ya..Tapi dibilang seneng kayaknya enggak juga deh. Secara cowok ngasih mawar pasti ada maksudnya kan. Apa mawarnya aja diterima, tapi maksudnya ga usah ya.. atau gimana ya.. eh, tapi ga usah dipikrin ding. dariapda pusing..Wong jelas-jelas dulu ga pernah ada cowok nganter mawar ke saya. :D 

Malemnya saya cerita ke suami saya, tentang si A yang mau kasih buket mawar ke pacarnya. suami saya ketawa dong. dia bilang kalo dia dapat bunga mawar, mawarnya ga akan disimpan, tapi ditanam lagi :D Pikiran yang realistis..

Eh, ngemeng-ngemeng saya pernah ding dikasih mawar sama suami saya. bukan dalam bentuk buket sih. Tapi dalam bentuk tanaman. haha..iyaa tanaman mawar. Bunganya warna pink. Waktu itu dia bilangnya, "bunga mawar ini khusus dibeliin untuk kamu, biar pas keluar rumah bisa liat mawar pink". Hihi..  Suami saya ga kalah romantis sebenernya dengan para bujang itu.. *shiny


gambar dari sini

Kamis, 18 September 2014

Ujian itu Bernama Tb (part 1)

2014 adalah awal tahun yang membahagiakan untuk keluarga kami. Tidak lain karena hadirnya anggota baru di keluarga kami, yaitu Nadya. Jika awal tahun 2013 kami memulai hidup baru sebagai suami istri, tahun 2014 ini kami memulai hidup baru sebagai orang tua. Kehadiran Nadya di tengah kami membuat hidup kami berubah. Biasanya pulang kantor, cuma berduaan, sekrang pulang kantor sudah ada yang menyambut di rumah. Capek yang dirasa sepanjang perjalanan pulang hilang seketika begitu meihat Nadya. Rutinitas kami yang biasanya semalaman bisa bobok nyenyak, sekarang sesekali harus bangun tengah malam untuk mengganti popok ataupun dia cuma mau nenen. Alhamdulillah dari bayi pola tidur Nadya sudah bagus. Setiap Isya, dia sudah mulai tidur dan bisa tidur semalaman, hanya bangun beberapa kali karena pipis, pup atau nenen. Ga kebayang kalo Nadya tipe bayi wayangan, yang melek tiap malem. Jadinya kami sangat-sangat terbantu dengan pola tidurnya ini.

Kebahagiaan atas hadirnya Nadya mulai terganggu ketika papanya Nadya jatuh sakit. Sakit yang awalnya kami kira masuk angin biasa, tapi sejak Desember 2013, sakit itu pergi dan datang. Mulanya cuma capek-capek aja, dan seperti maag. Sudah konsultasi ke dokter di klinik kantor, kata dokternya ga sakit apa-apa, cuma pikiran dan kecapean aja. Yasudahlah..Kondisi waktu itu memang menyita perhatian dan fisik suami saya. Waktu itu saya masih cuti bersalin di Magelang, yang efeknya suami saya harus bolak balik Jakarta-Magelang, belum tugas dinasnya di akhir tahun lalu itu lumayan padat. Pikir kami mungkin memang kecapean saja. Selanjutnya mulailah suami saya batuk-batuk. Suami saya yang pada dasarnya anti pergi ke dokter selalu berkilah, batuknya dimnumin obat ini, nanti juga sembuh. Ya benar, selesai minum obat kadang batuknya berhenti, tapi ga berapa lama, batuk lagi. Begituu terus. Akhirnya menyerah, suami saya pergi ke dokter klinik dekat rumah. Diaksih antibiotik, yang setelah habis minum obat itu belum sembuh juga. Malah semakin parah, rasanya setiap batuk kepalanya pusing. saat itu, dia belum juga mau pergi ke dokter lagi, asumsinya kalo dikasih antibiotik lagi ya sama saja. Sampai pada suatu malam, suami saya sudah tidak tahan dengan batuknya. Akhirnya kami pergi ke UGD salah rumah sakit besar dekat rumah (kenapa ke UGD,soalnya seingat saya kami perginya itu Sabtu malam, yang mana poliklinik juga ga buka). Sampai disana cuam ketemu co ass, ditanya-tanya aja sebangsa yang dirasain apa, batuknya sejak kapan, terus perika tensi, suhu badan..Dan hasilnya lagi-lagi cuma dikasih antibiotik dan vitamin, serta saran kalo batuknya ga sembuh datang aja ke dokter spesialis syaraf atau paru, yang mana baru buka Senin. Rasanya ya waktu itu, sebeel banget. Sarannya itu loh, datang ke dokter syaraf atau paru. Lah, kami datang kesana kan ga tau sakitnya apa. Kalo langsung ke spesialis berarti kami sudah tau dong sakit apa. Ga perlu juga ke dokter umum. Masalahnya ekspektasi kami, kalo kesana itu dirujuk buat tes apaa gitu, tes darah kek atau tes apalah, minimal buat mendiagnosis sebenernya sakit apa. Ini kan rumah sakit besar yaa..Tapi yasudahlah, pasien kalah. Kami pulang saja, nebus obat, dan terpaksa minum obat yang sudah diresepkan itu. Sambil berjanji ga akan balik lagi ke rumah sakit itu ~kecewa.

Setelah beberapa saat minum obat, ga da kemajuan sama sekali. Terus saya baru ingat, mama saya juga suka batuk-batuk dan sekalinya batuk lamaaa. Saya telp lah mama saya itu, dari cerita beliau, belakangan ini beliau suka langsung berobat ke Balai Paru di  Magelang. Waktu batuk kemarin, beliau dirujuk untuk diuap, setelah diuap dahaknya keluar semua, batuknya jadi lebih cepat sembuh. Akhirnya saya bilang ke suami, untuk periksa ke spesialis paru aja, siapa tau dirujuk untuk diuap juga. Suami saya setuju. Kami sepakat untuk ke RSPAD (pertimbagannya RS ini dekta kantor dan jelas kami ga mau balik ke RS pertama). Kami langsung mendaftar untuk konsultasi ke spesialis Paru, yang mana sampai sana ternyata harus menyertakan rontgent dulu. Jadilah hari itu suami saya di rontgent, hasilnya bisa langsung diambil hari itu juga untuk dibawa konsul dengan dokter.  Hasilnya, ada kabut di paru-paru suami saya, dokter menduga sakitnya antara Pneumonia atau Tubercullosis (Tb). Kalo Pneumonia pengobatannya cuma 2 minggu, tapi klo positif Tb harus diisolasi dan berobat minimal 6 bulan. Syoklah kami mendengar diagnosa sementara dokter. Itu kan penyakit kronis...Bagaimana bisa...??

Baiklah sebelum dokter mendiagnosis bahwa itu Tb, suami saya masih harus menjalani tes lagi. Kali ini tes dahak, yang mana merupakan prosedur umum untuk mendiagnosis apakah seseorang menderita tb atau tidak. Tes ini dilakukan dengan mengambil dahal di tiga waktu, yaitu dahak sewaktu (dahak saat pengambilan pertama), dahak pertama di pagi hari dan dahak sewaktu (dahak saat pengambilan ketiga). Berarti butuh 2 hari untuk tes dahaknya saja, dan dua hari kemudian baru hasil tesnya keluar. dokter tersebut meminta kami untuk kembali pekan depan. 

Menunggu pekan depan sambil melewati tes ini itu rasanya campur-campur. Ada ketakutan mendalam jika terjadi apa-apa dengan suami saya. Bayangan hal yang buruk-buruk itu sering melintas di benak. Suami saya pun merasakan hal yang sama, tapi dia jauh lebih tabah. Dia tau jika dia kalut, saya pun akan jauh semakin kalut. Saat itu, dia cuma memeluk saya dan berkata, " Sabar ya dek, mas aja sudah ikhlas kok dengan penyakit mas. Semoga sakit ini bisa menjadi penggugur dosa kita. doakan mas cepet sembuh yaa..". Istri mana yang ga menangis dibilang kaya gitu. Dan pada akhirnya saya hanya bisa berdoa dan men-supportnya. 

Hasil tes dahak keluar. Hasilnya adalah positif. Ya Alloh suami saya kena Tb. Walaupun sudah bersiap selama seminggu menunggu hasil ini, tapi tetap saja kami syok. Kami konsul lagi ke dokter, bertanya macam-macam, terutama bagaimana bisa suami saya itu kena Tb. dokternya bilang ya bisa saja, bakteri Tb sudah masuk lama di dalam tubuh, dia baru aktif ketika tubuh sedang tidak fit, yang mana saat itu antibodi tubuh sedang tidak bagus. Baiklaah, mendengar penjelasan dokter itu kami mulai bisa menerima, mengingat suami saya sering kecapean apalagi setelah saya melahirkan. Bisa jadi saat itu bakterinya menjadi aktif. Yaa baiklaah..Selanjutnya suami saya akan mulai menjalani pengobatan selama 6 bulan ke depan. Rontgent lagi setelah 2 bulan untuk follow up bakteri yang berkembang di paru-paru.

Sebelum meninggalkan ruangan dokter, dokter tersebut berkata merujuk ke klinik VCT untuk mengetahui apakah suami saya megidap HIV-AIDS atau tidak.. what!! Apa pula ini. dapat penyakit Tb saja sudah cukup bikin syok, apalagi terduga kena HIV. Dokternya cuma bilang cek aja karena sesuai prosedur untuk pasien pengidap Tb yang masih muda dan aktif, perlu diobservasi apakah terkena HIV atau enggak. Lagipula dokternya juga masih heran, badan suami saya yang segede itu kok bisa-bisanya kena Tb.

Yasudahlah kami ke klinik VCT hari itu juga. Suami saya diwawancarai dokternya. Ga tau ditanya apa aja soalnya saya disuruh keluar ga boleh nemenin. Ujungnya sih dirujuk untuk tes rapid HIV. Pengennya hari itu juga kami kelar semuanya, bisa tes HIV dan keluar secepatnya. Rasanya menunggu hasil tes rapid HIV itu jauuh lebih mendebarkan daripada nunggu hasil tes dahak. Kami cuma bisa beristighfar. Hasil tes keluar, Alhamdulillah suami saya negatif  HIV. Alhamdulillaah.. Berarti sekarang tinggal fokus menjalani pengobatan selama 6 bulan. 

Sejak positif menderita Tb, suami saya semakin rajin memakai masker, bahkan waktu tidur sekalipun. Ini juga sementara waktu, kami tidur terpisah. Gelas dan tempat makan juga sementara dipisah. Demi tidak menulari penghuni rumah lainnya. Namun, menjelang bulan kedua, suami saya sudah ga batuk-batuk lagi. Pakai maskernya kalo lagi pergi aja. Secara medis sih, setelah pengobatan 2-3 bulan, penderita tb sudah tidak dapat menularkan bakteri lagi. Tapi ya jaga-jaga aja.

Alhamdulillah suami saya ini orang yang rajin minum obat. Dia pokoknya nurut kalo disuruh minum obat, asal bisa sembuh. Ga kebayang kalo saya yang di posisinya. Dua bulan pertma harus minum obat 12 biji setiap hari. Saya makan sebiji obat saja rasanyaa susaah banget. dia dengan entengnya minun tuh 12 biji. Selanjutnya di bulan ketiga, obatnya mulai berkurang. Hingga menjelang 6 bulan obatnya tinggal 2 macam saja. Selama 6 bulan ini, mullai ada kemajuan dari suami saya. BAtuk-batuknya sudah jauuh berkurang. Hasil rontgent yang kedua kalinya, sudah menunjukkan paru-paru mulai bersih, tapi obatnya belum boleh putus. Lanjut sampai 6 bulan. Sebagai informasi, pengobatan Tb ini memakan waktu minimal 6 bulan. Obat harus diminum setiap hari, ga boleh terlewat satu hari pun. Kalau terlewat satu hari saja, dikhawatirkan bakterinya akan semakain kuat sehingga masa pengobatan Tb dapat semakin panjang. Dan jika pasiennya membandel, Tb ini dapat menyebabkan kematian. Seperti yang telah saya bilang, suami sya ini rajin dan telaten. Hasilnya, alhamdulillah per 17 September kemarin, kontrol terakhir dengan dokter, suami saya dinyatakan bebas Tb. Hmm..sebenernya kesimpulannya belum meyakinkan sih, karena kemarin suami saya ga bisa mengeluarkan dahak untuk memastikan bakterinya sudah tidak ada. Tapi melihat hasil rontgent dan gejala klinis yang terlihat dokter sudah menyimpulkan suami saya bebas Tb. Hanya saya nanti 3 bulan kemudian suami saya diminta kontrol kembali. Alhamdulillah. Semoga suami saya benar-benar sudah bebas Tb. Semoga ga lagi ada penyakit yang aneh-aneh. aamiin..

Akibat suami saya positif kena Tb ini ternyata berdampak ke Nadya. Bagian ini saya ceritakan pada tulisan selanjutnya ya.. Insya Alloh :)

Rabu, 17 September 2014

Hepi itu ketika...

  • Pulang kantor, rasanya capek, ngantuk, laper, haus,, terus begitu sampai rumah, buka pintu, ucap salam, disambut Nadya yang ketawa-ketawa seneng liat emaknya pulang..Seketika capeknya berkurang drastis..Ga sabar pengen gendong dan nyiumin anak wedok.. ^^
  • Selesai cuci kaki dan tangan, gendong si genduk, dia mulai narik-narik baju, minta nenen. Terus pengasuhnya bilang, "loo barusan aja minum susu habis sebotol, sekarang mama dateng minum lagi".. Padahal kadang nenennya main-main aja, yang penting nempel emaknya..Rasanya nyess banget karena si genduk rupanya kangen juga sama emaknya ini..
  • Lagi nenenin, pengasuhnya lapor kalo Nadya makan banyak. Berasa jadi koki paling handal sedunia, bisa bikin anak wedok lahap makannya.. :D
  • Nadya sok-sok manja dengan naruh kepalanya di bantal atau badanku terus tampangnya cute banget.. gemeees..
  • Ngelonin Nadya, sambil cerita-cerita atau muroja'ah tangan Nadya pegang-pegang tanganku, serasa ga mau dilepas.. Rasanya quality time kami banget..
  • Waktunya tidur siang, aku udah siap ngelonin dia dan ternyata aku ngantuk duluan, terus pura-pura merem sambil sesekali melek ngliatin Nadya, dia dengan polosnya menatap wajahku sambil senyum-senyum, tangannya mukulin wajahku buat mbangunin aku. Mungkin kalo udah bisa ngomong dia bakal bilang, " mamaa, aku belum mau bobok tauu, main aja yuuk.."






Tetiba mellow karena kangen Nadya.. :'(

Selasa, 16 September 2014

Sedikit tentang Pomalaa

Dua tahun lalu, ketika saya mengabarkan berita gembira kepada khalayak bahwa saya akan menikah, reaksi oang bermacam-macam. Paling banyak, saya langsung diserang dengan pertanyaan bertubi-tubi. Mulai dari nikah sama siapa? kenal dimana..? Kerja dimana..? Asal darimana..? daan seterusnya.. Pertanyaannya mirip-mirip sih..Tapi berhubung saya lagi berbahagia (ceilah..), saya jawab satu per satu pertanyaan teman-teman itu. Satu pertanyaan yang jadinya meembet kemana-mana adalah pertanyaan calon suami saya itu asalnya darimana. saat itu tentu saya jawab, suami saya dari Sulawesi. Merembetlah pertanyaan dan pernyataan, mulai dari Sulawesinya dimana..Kok jauh banget..Wah, nanti mudiknya susah..daan seterusnya.. Waktu itu sih, saya juga ga kebayang Sulawesi kaya apa, kesana juga belum pernah. Jadi pertanyaan dan pernyataan itu paling cuma dijawab singkat, atau senyum aja atau bilang aja ga tau :D..Yaa mau gimana lagi, walaupun jauh disana, tapi setelah melewati perenungan panjang, saya memutuskan untuk tidak mempermasalahkan asal calon suami saya saat itu.

Alhamdulillah setelah kami menikah, berarti secara resmi pula Sulawesi menjadi kampung halaman kedua saya. Baiklah, saya menceritakan sedikit tentang kampung halaman kedua saya itu. Namanya Pomalaa. Saya pertama kali tahu nama tempat ini dari cv yang suami saya beri ketika kami berta'aruf. Yang mana kalau saya tidak bertemu beliau, niscaya saya pun tidak akan tahu suatu tempat bernama Pomalaa ini. Pomalaa ini adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Mungkin karena Kecamatan ya, orang tidak banyak tahu nama Pomalaa. Tapi kalau nama Kolaka mungkin sebagian orang sudah pernah dengar (gegara ada pengacara kondang ibukota yang mencalonkan diri jadi bupati Kolaka). diantara Kecamatan lain di Kabupaten Kolaka, Pomalaa termasuk salah satu yang paling maju, terutama dari segi perekonomian. Pomalaa memiliki potensi alam berupa nikel. Disinilah tambang nikel terbesar di Indonesia. Tambang ini dikelola oleh PT. Antam Tbk. Berkat adanya PT Antam Tbk. ini jugalah infrastruktur di Pomalaa dapat dikatakan relatif lebih baik dibanding Kecamatan lain sehingga banyak juga pendatang di Pomalaa.

Berbicara tentang Sulawesi, selalu identik dengan laut. Begitu pula dengan Pomalaa, daerah ini terletak di tepi laut. rumah mertua saya, hanya sekitar 200 m dari garis pantai. Sayangnya pantai paling dekat dengan rumah itu menjadi perkampungan nelayan. Jadi jangan dibayangkan kalo pantainya itu bersih, berpasir putih, banyak pohon kelapa..hehe..karena kenyataanya begiitu jauh. Disana tidak ada pantai berpasir putih,yang ada pantai dengan kerikil-kerikil kecil. Sebenarnya bukan kerikil juga sih, tapi itu adalah limbah dari pengolahan nikel. jadi limbah dari pengolahan nikel dibuang di sepanjang garis pantai. Limbah tersebut semakin lama semakin banyak hingga akhirnya menjadi timbunan yang menutupi laut. Jadi tidak heran jika wilayah Pomalaa sendiri semakin lama semakin luas karena timbunan limbah nikel tersebut menjadi daratan lagi. Garis pantai semakin menjauh. Jadi dulu waktu suami saya kecil, jarak rumah dan pantai itu tidak sejauh sekarang tapi karena daratannya semakin luas, jarak pantai dan rumah jadi semakin jauh juga. Ada cerita menarik terkait limbah nikel ini. Konon di Jepang ada pulau buatan bernama Pomalaa. Hal ini disebabkan dulu tanah dari Pomalaa banyak diekspor ke Jepang. tentunya setelah di Jepang tanah tersebut diolah untuk diambil nikelnya. Nah sisa limbah itu lama menjadi pulau sendiri sehingga dinamakan Pomalaa. entah benar atau tidak cerita itu, soalnya setelah saya searching di Google, tidak ada nama pulau Pomalaa di Jepang :D.

Walaupun pantainya tidak terlalu menarik untuk wisata, tetapi bagi saya berjalan-jalan di sekitar kampung tersebut tetap saja menyenangkan dan di mata saya tetap terlihat unik. Salah satu uniknya adalah masih banyak terdapat rumah adat Bugis. Rumah adat Bugis adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan atap yang sangat rendah. Dibuat rumah panggung karena memang dekat dengan laut. Hal tersebut untuk mengantisipasi saat ait laut pasang. Namun seperti yang saya sampaikan sebelumnya, garis pantai semakin jauh, jadi air pasang sudah tidak sampai ke rumah-rumah Bugis ini. Jadilah bagian bawah rumah itu sekarang difungsikan menjadi gudang, tempat parkir, ataupun ruang tambahan rumah. 

Berjalan sedikit dari perkampungan tadi, tentu saja laut :D. Kata suami saya, kalau air laut sedang surut, biasnaya bisa menangkap kepiting, cari bintang laut atau hewan laut lainnya. Secara saya kan pernah liat negituan, pengen juga dong yaa :D. Sayangnya pas datang kesana pagi-pagi, air laut belum terlalu surut. Air surut menjelang tengah hari, yang mana tentunya saya ga akan diijinkan pergi ke laut. Panas bangeeet, kasian juga Nadya kan,,Jadi yasudahlah, lain waktu semoga masih ada kesempatan buat bisa main-main di laut, cari kepiting dan lain-lain.. :))

Jika di dekat rumah mertua bukanlah pantai untuk wisata, bergeser sedikit di garis pantai yang sama, terdapat pantai yang memang dikhususkan untuk wisata, namanya Pantai Harapan. Jaraknya sekitar 10 menit naik mobil. Pantai ini merupakan salah satu tempat pariwisata murah meriah di Pomalaa. Masuknya sama sekali tidak bayar. Motor dan mobil bisa masuk sampai dalam, dan parkir dimanapun suka :D. walaupun tempat pariwisata, tapi menurut saya sih belum dikelola dengan baik. Mungkin karena sebenernya kalo mau ke pantai dimana-dimana juga pantai kan, cuma ya pantai Harapan itu yang dikukuhkan sebagai tempat pariwisata. Dan namanya tempat pariwisata, setelah lebaran ya ramai aja.Hal yang menarik di pantai Harapan ini adalah terdapat dua buah kolam buatan yang besar (kolam atau empang ya). Kolam itu terisi air laut. di kolam itulah orang-orang ramai berenang. jadi berenangnya tidak langsung di laut, tapi di kolam itu. kalau di lautnya sendiri malah ga ada orang yang berenang, ga tau juga kenapa. Mungkin batasnya langsung laut kali ya, ga ada pantai atau laut yang dangkal.

Yang banyak orangnya ini, adalah kolam tempat pengunjung mandi
di belakangnya, baru laut

Nadya hepi dibawa ke pantai ^^


Tentang kuliner. Namanya di tepi laut, seafood jadi makanan utama. Tentu saja tidak sulit mencari seafood segar. dan karena bapak mertua saya adalah penggemar ikan, setiap hari di meja makan pasti tersedia ikan. Ikan segar tentunya. Saya icip-icip dong.. Dan ternyata enak.. :D  Yang kenal saya pasti tau,saya geli makan ikan. Jadinya makan ikannya minta disuwirin dulu. Tapi rasa ikan segar itu memang enak. Nadya aja doyan makan ikan ^^. Sayangnya, Pomalaa ini memang bukan tempat wisata, jadi jangan berharap menemui restoran seafood di pinggir pantai. Karena tidak ada sama sekali. Kalau mau makan ikan di pinggir pantai, boleh juga sih datang ke pantai Harapan, bawa ikan sendiri, bawa tungku sendiri, terus bakar-bakar deh :D. 

Tentang Pomalaa yang lain. Saya belum bisa cerita yang lain-lain. Soalnya saya juga baru dua kali kesini. Pertama pas nikah, kedua pas Lebaran kemarin. Oh ya, ini yang paling penting yang harus saya ceritakan, yaitu bagaimana cara menuju Pomalaa :) Walaupun Pomalaa ini nampaknya terletak nun jauh disana, tapi disini ada bandara lo..Iya, sekali lagi saya katakan, disini ada Bandara. Namanya Bandara Sangia Ni Bandera. Harus di bold biar jelas. Habisnya teman-teman kadang ngeledek harus naik sampan sampai Pomalaa (saking nama tempat ini ga pernah kedengeran sama mereka) :'(. Memang hanya bandara kecil. Tapi lumayanlaaah :D. Bulan November tahun lalu, Bandara ini mengalami kebakaran. Untuk sementara, bangunan yang semula menjadi tempat mobil pemadam kebaran dialihfungsikan menjadi bandara darurat.

Gedung lama Bandara Sangia Ni Bandera sebelum terbakar
pict from here


Rute penerbangannya adalah sebagai berikut: dari Jakarta-Makassar- Pomalaa. Jakarta-Makassar terbang sekitar 2 jam kurang dikit. Terus transit, Makassar-Pomalaa sekitar 45 menit. Untuk rute ini memang baru satu maskapai penerbangan yang masuk, yaitu Lion Air. Ini pun untuk penerbangan Makassar-Pomalaa ganti Wings Air, yang kapasitas kursinya adalah 70 kursi. Ini juga perlu saya sampaikan, habisnya bayangan orang-orang pesawat sampai Pomalaa itu pesawat keciiil, yang isinya cuma 5 orang TT. Oh ya, menurut informasi, Setelah Lebaran, Garuda juga akan menambah rute sampai Pomalaa. Sayangnya, rute tersebut dibuka beberapa hari setelah kami pulang. Padahal tadinya ngarep, siapa tau tiketnya bisa lebih murah. Masih promo gitu :D

Selain rute tersebut, untuk menuju Pomalaa bisa juga turun di Kendari. Cuma ya dari Kendari masih harus melanjutkan perjalanan darat selama kurleb 4 jam. Lebaran kemarin, kami berkesempatan menikmatai perjalanan Kendari-Pomalaa. Kebetulan jalan yang dipilih adalah jalan potong, yang katanya menghemat 60 km dibanding lewat kota Kendari. Namanya juga jalan potong, jadi jalannya belum bagus. Perjalanan 4 jam itu goyang-goyang dan berliku-liku. Lumayan, kalo mau ngosongin isi perut ^^v. Dan karena itu saya memilih untuk tidak melewati jalan itu lagi :). 

Alternatif lain, bisa juga sih naik kapal laut dari Jakarta. Jelas itu memakan waktu beberapa hari. Untuk alternatif ini, setidaknya sampai saat ini, saya benar-benar belum pengen nyoba :D 

Begitulah, sedikit cerita saya tentang kampung halaman kedua saya ini. Insya Alloh lain waktu, jika saya pulang lagi akan ada cerita lain tentang Pomalaa :)