Minggu, 04 Februari 2018

Saya dan Menjadi Saya yang Profesional

"Jadi apa yang mas harapkan dariku..? "
" mas pengennya kamu bahagia, bukan karena orang lain berubah, apalagi di kantor mu, tetapi karena kamu lebih strong, ikhlas, dan bisa menemukan kebahagiannmu sendiri"


Sepenggal percakapan via wa dengan mas yang sukses membuat saya langsung mewek. Saya berekpektasi bahwa dia mungkin akan menjawab: "aku pengen kamu masakin aku atau aku pengen kamu di rumah dandan ", atau apapunlah yang dia mau. Tidak, dia tidak egois meminta. Dia hanya ingin istrinya bahagia. Mewek lah saya..TT

Bukan tanpa sebab, ketika tiba-tiba saya menanyakan hal tersebut ke suami. Minggu ini adalah minggu kedua saya mengikuti matrikulasi Institut Ibu Profesional. Nice Home Work minggu ini adalah membuat indikator professional sebagai diri sendiri, istri, dan ibu. Indikator yang sekiranya kita bisa menjalaninya. Indikator ini dibuat dengan SMART, yaitu Specific( unik/detail)-Measurable (terukur)-Achievable (bisa diraih, tidak terlalu susah dan tidak terlalu mudah)-Realistic (berhubungan kondisi sehari-hari)-TimeBond (terdapat batas waktu).

Sejujurnya waktu pertama kali baca tugas ini, saya pun mewek. Merasa jauuh diri ini dari kata profesional. bener-bener deh tugas kali ini banyak meweknya. Untuk menyelesaikan tugas ini, diperlukan komunikasi dengan pasangan dan anak supaya kita benar-benar  tau apa sih yang diharapkan pasangan atau anak terhadap kita.  Bagian paling sulit adalah menerjemahkan ekpektasi suami. Itulaah ketika ditanya, jawabannya seperti pada pembuka tulisan ini. Dan setelah beberapa hari merenung dan berdiskusi via wa (suami kebetulan sedang dinas ke luar kota), akhirnya diskusi bisa mengerucut dan menghasilkan beberapa poin ekpektasi suami terhadap saya. Jadi yang saya simpulkan dari perbincangan kami, profesional sebagai istri berarti menjadi sosok istri yang diharapkan suami, yaitu menjadi manusia yang bisa bahagia bukan karena orang lain berubah tapi karena lebih strong, ikhlas, dan bisa menemukan kebahagian sendiri. Menjadi seorang yang berpikiran positif dan selalu meng-upgrade ilmu. Cara untuk mencapainya adalah sebagai berikut.

a. Tidak berkeluh kesah urusan kantor minimal 5 hari dalam seminggu
b. Menjauhi pikiran dari hal - hal negatif. 
c. Membaca buku tema minimal 1 buku setiap bulan


Selanjutnya, profesional sebagai ibu.  Bagi saya, profesional sebagai ibu berarti menjadi ibu yang selalu dibutuhkan dan dirindukan anak- anak. Ini agak sulit ditanya ke anak-anak apa sih ekpektasi mereka terhadap saya sebagai ibunya karena mereka masih balita. Anak gadis 4 tahun mungkin  masih bisa menjawab, tapi jawabannya hari ini apa, besok apa :D Anak bujang 1, Alhamdulillah semua kebutuhannya sudah terpenuhi,  iykwim. Anak bujang 2 usia 2 bulan, butuhnya ASI :D.  Dan semoga saya benar dalam menerjemahkan keinginan mereka. Karena kebutuhan masing-masing anak berbeda, poin-poin untuk mencapainya tergantung pada anak tersebut. Berikut ikhtiar mencapai profesional sebagai seorang ibu:

a.Membacakan buku/cerita sebelum tidur minimal 5x dalam seminggu
b.Masak bersama minimal sebulan 2 kali
c.Tidak pegang gadget sepanjang menyusui bayi
d.Mengobrol dengan bayi sebelum kerja dan pulang kerja minimal 5 menit


Profesional yang terakhir adalah profesional menjadi diri sendiri. Seharusnya profesional ini ada di urutan nomor 1. Tapi tak apalah saya menuliskan justru di bagian akhir. Menjadi profesional, berarti menjadi manusia yang ramah, melayani dan selalu mengupgrade ilmu. Caranya:

a. Tilawah setiap hari minimal 1/2 juz
b. Senyum, sapa, salam setiap hari ke suami, anak, art 
c. Membaca buku tema minimal 1 buku setiap bulan

Sejatinya, menurut saya jika profesional diri sendiri ini adalah pondasi yang jika sudah tercapai, secara otomatis bisa menjalar ke peran yang lain, yaitu sebagai istri dan ibu. Wallahua'lam.



Jumat, 26 Januari 2018

Manusia Rata-rata

Sebenarnya sudah sejak lama saya merenungi seorang saya yang seringkali saya deskripsikan sebagai manusia rata-rata. Iya, manusia yang segala sesuatunya serba rata-rata. Tinggi rata-rata, berat badan rata-rata, keahlian rata-rata, kepandaian rata-rata. Ga ada yang menonjol sedikitpun :D Flashback ke kehidupan masa kecil, dulu saya ga pernah merasa diri saya ini rata-rata loh. I always think that i'm number one. Saya ini anak pertama, hampir segala sesuatu menjadi contoh buat adek saya yang seorangan itu. Saya hampir selalu merasa harus menjadi seorang yang sempurna. Bayangkan, hampir setiap penerimaan rapot, orang tua saya selalu tersenyum bahagia melihat nilai rapot saya yang hampir selalu bagus. Paling sering dapat peringkat 1, pernah juga dapat peringkat 2 atau 3, paling jelek seumur hidup saya ada di peringkat 8. Dan itu pun cuma sekali. Untuk mengejar itu semua, setiap malam saya diwajibkan belajar dan mengerjakan PR sekolah. Bagi saya adalah aib besar ketika tidak mengerjakan PR atau tidak sanggup mengikuti pelajaran sekolah. Rasanya sepanjang sekolah saya selalu sibuk dengan belajar, les ini, les itu. sampai akhirnya lulus SMA, saya berhasil diterima di 3 PTN plus 1 perguruan tinggi kedinasan. Luar biasa kan :D Dan untuk melengkapinya menjadi anak sempurna, saya ambil perguruan tinggi kedinasan sesuai keinginan orang tua saya. Dan jadilah saya ini sekarang menjadi  seorang kuli negara dengan gaji yang Alhamdulillah cukup untuk hidup di kota besar. Orang tua saya bangga dan bahagia melihat pencapaian saya yang lumayan ini :)

Tapiii...Nyatanya menjadi peringkat 1 aja, ternyata tidak cukup membuat saya bisa survive dalam menjalani hidup. Ketika saya mulai masuk kerja, saya cuma berprinsip saya ini pintar, tapi saya tidak pernah diajari bagaimana harus menerima arahan, kritik, dan saran atau mengahadapi orang-orang dengan beragam sifat dan karakternya. Ketika saya menikah, saya bahkan tidak bisa memasak. Lalu buat apa pula waktu itu saya selalu mengejar menjadi nomor 1. Gelar peringkat 1 itu saat ini tidak bisa membantu saya sama sekali :D. Ya, baiklah lupakan saja perihal manusia sempurna. Karena di titik ini, ketika saya baru mulai mengasah soft skill-keahlian yang seharusnya sudah saya pelajari dari jaman sekolah-, saya mendapati bahwa saya ini tidak ahli apa-apa. Saya hanya si manusia rata-rata, ingin ini, ingin itu, tapi semuanya serba tanggung. Tak pernah ditekuni dengan serius, Segalanya hanya dilakukan sepotong-sepotong. 

Yup, itu kemarin. Karena mulai hari ini saya harus mulai menekuni salah satu saja. Membuat apa yang yang saya bisa dan apa yang saya suka menjadi bermanfaat, minimal sekali untuk diri saya sendiri. Paling ga, saya bisa merasa berharga dan punya value. Percayalah, saking merasa mindernya menjadi manusia rata-rata, saya suka merasa diri saya tidak berharga :(

Jadilah, setelah merenungi dan nanya-nanya ke paksu perihal apa yang mau saya tekuni, jawaban pertamanya dan yang memang lagi ngendon di otak saya adalah masak :D. Janganpun dibayangkan dulu saya ini rajin masak dan bisa masak segala-gala. Karena di paragraf sebelumnya, sudah saya bilang, awal menikah saya ga bisa masak. Kemampuan memasak saya waktu itu sangat buruk, jauuuh dibawah kemampuan suami saya-yang memang suka masak :D. Manalah namanya memasak sebenrnya setiap ibu juga pasti bisa memasak dan masakannya pasti enak, minimal untuk keluarganya. Jadi kenapa memilih memasak, alasannya yang pertama biar ga malu-malu amat sama suami saya yang suka dan bisa masak. Yang kedua, kalo boleh jujur, sejak saya belajar masak, rasanya saya memang menikmati proses memasak itu sendiri. Saya bahagia ketika saya berhasil mencoba suatu resep masakan, saya bahagia ketika masakan saya dimakan lahap oleh dua konsumen utama saya (suami dan anak). Saya bahagia ketika ga harus jajan di luar ketika pengen makan enak :D Yang ketiga, rasanya memasak bisa jadi menjadi kegiatan yang bisa melibatkan seluruh anggota keluarga kami. Yaa, bisalah jadi quality time untuk keluarga kami. Suami suka masak, anak gadis mulai suka ngubek-ngubek dapur.dan yang jelas dia suka makanan enak. Lidah anak gadis ini cukup lumayan untuk bisa membedakan mana makanan yang enak dan yang ga enak.. :p

Nah, karena ini mau ditekuni, senampaknya saya mulai harus memanage dengan baik proses belajarnya. Caranya, pertama, skill itu diasah dengan banyak berlatih. Dan kedisiplinan dalam belajar itu adalah sebuah kewajiban.Tapi ga berarti harus masak tiap hari kan ya? :D  Iya, karena sejujurnya pun saya ga sanggup kalao tiap hari disuruh masak. Senin-Jumat rasanya sayang kalau waktu yang seuprrit itu buat ngoprek dapur, saya lebih seneng kruntelan sama para bocah. Jadilah berarti weekend itu jadwal saya masak. Dan untuk men-challenge diri serta menambah khasanah dalam dunia masak, minimal sebulan sekali saya harus nyobain menu baru.

Kedua, dicatat dan didokumentasikan dengan rapi. Secara belajar masaknya masih otodidak ya, jadi kalau mau masak itu lebih seringnya googling resep terus nyobain masak, terus udahan. Besok lagi kalo mau masak makanan yang sama gooling lagi. kadangan suka ga ketemu resep yang sebelumnya :D. Secara si amatiran ini kalo mau masak mesti buka resep dulu. Ga pede rasanya kalo main cemplung-cemplung aja. Apalagi kalo bikin sebangsa roti/cake harus pakem sama resepnya. Mulai hari ini sudah mulai harus dicatat rapi, biar-besok-besok kalo mau masak yang sama ga perlu googling lagi. Dengan didokumentasikan dengan rapi, harapannya biar bisa kelihatan progress skill memasaknya. Misal dulu pas pertama masak, dengan resep begini, hasilnya begini. Setelah masak yang kedua, diperbaiki lagi, misal cara memasak dan resepnya, hasilnya begini. Tentunya juga ga lupa kalo nyobain resep harus dicatat juga sumber resepnya dari mana, apalagi kalau mau di share.

Ketiga, mulai invest peralatan masak. Hmm ya sebenernya peralatan masak udah segambreng. Tapi ya itu, banyaknya itu karena punyanya double-double. Sebangsa wajan, panci, teflon ada beberapa. Dan jangan dikira itu karena kami suka beli peralatan masak. Barang-barang yang sampai double itu karena sebelum nikah mas udah punya beberapa peralatan masak, pas nikah dikadoinnya banyak peralatan masak. Jadinya punyanya double gitu. Tapi peralatan sebangsa mixer gitu malah ga punya :D. Makanya ini lagi diniatin invest peralatan yang belum kami punya. Dalam waktu dekat, insya Alloh pengen beli food processor. Biar bisa giling-giling daging sendiri. Kebayang udah pengen nyobain bikin rolade ..:D

Keempat, pengen banget ikut kursus. Tapi ya, kalo sekarang-sekarang ini masih eman ninggalin para bocah. Senin-Jumat udah ditinggal dari pagi sampai malem, kalo weekend masih harus ditinggal juga rasanya kasian banget. Insya Alloh kalau ada rejeki, semoga bisa kesampaian kursus atau minimal bisa belajar sama ahli :)

Perencanaannya kayaknya sudah oke, tapi apalah perencanaan tanpa dikerjakan dengan usaha yang sungguh-sungguh. Insya Alloh, atas ijin Alloh semoga niatan hati untuk mengasah skill ini mendapat ridho Alloh. Penting amat ya, nulis pengen masak gini sampe ditulis berpargraf-paragraf. Penting amat pula gitu ya, pengen seiusan masak, yang yakinlah sebagain besar orang juga bisa.. Tak apalah, dengan ditulis begini, kalau suatu saat saya di kemudian hari lupa bahwa hari ini saya pernah berazzam seperti ini, maka saya akan ingat dan semoga kembali lurus di niatin ini. Aamiin.

Btw, besok udah weekend. Belum ada rencana buat nyobain resep baru. Baru berencana mengolah stok iga yang ada untuk dibuat iga bakar. Sama udah lama sih rencana pengen buat cinnamon roll. Tapi kalo yang kedua ini, masih diliat waktunya nanti. :P